1.02.2009

Lokalisasi Setengah Hati

Malam itu saya hendak pulang ke rumah. Ada banyak pilihan jalan untuk pulang. Namun saya memilih melewati kawasan unik itu. Saya sekedar ingin melihat-lihat suasana kawasan tersebut. Lagipula menurut perkiraan saya, peluang terjebak kemacetan di jalur tersebut relatif lebih kecil. Semoga saya bisa lebih cepat sampai di rumah.

Mungkin sudah lewat pukul sembilan ketika saya akan memasuki kawasan tersebut. Traffic light menyala merah. Saya harus menunggu. Lampu sen kanan telah saya nyalakan. Saya menunggu dengan tenang di jalur kanan hingga traffic light tersebut berubah warna. Suasana di persimpangan tersebut cukup ramai. Dan seperti saya, banyak juga kendaraan yang bersiap membelok ke kanan. Ada dua pengamen seingat saya. Yang satu tampak kurang sehat jiwanya. Menarik! Ia menyanyikan lagu 'Manusia Biasa' dari Radja dengan lirik asal-asalan. Cukup banyak yang memberinya uang. Kemudian dia bergerak ke trotoar, membentur-benturkan kepala ke dinding, kemudian meloncat-loncat.

Rombongan kendaraan telah bergerak. Saya tidak bisa mengamati lebih lama pengamen suspek psikotik tersebut. Saya arahkan setang sepeda motor saya ke kanan. Yap, saya sampai di kawasan yang cukup terkenal di kota ini. Saya telah mendengar nama lokasi itu cukup lama. Padahal saya tidak dengan sengaja mencari-cari informasi tentang kawasan itu. Tapi saya tidak akan memberitahukan nama lokasi tersebut pada anda. Karena saya tidak mau anda mengetahui tempat tersebut dari saya, kemudian datang ke sana, bertransaksi. dan berbagi dosa dengan saya. Dosa saya mungkin sudah cukup banyak walaupun belum ditambah dengan komisi dosa dari anda.

Sepeda motor saya bergerak maju. Tidak terlalu laju. Saya perhatikan suasana sekitar. Ramai. Pedagang-pedagang makanan mendirikan tenda di pinggiran jalan. Tepian jalan juga dihuni oleh mobil-mobil yang diparkir. Pemiliknya entah di mana. Sedang makan, ke WC, atau sedang melakukan hal lain, saya tidak tahu pasti. Sebenarnya cukup berbahaya juga bagi saya ketika harus melewati kawasan itu. Kemungkinan paling buruk yaitu: saya tertarik, berhenti, kemudian bertransaksi. Naudzubillah. Tapi saya telah menyimpan niat: hanya lewat, sambil melihat-lihat. Kemungkinan lain yang sempat saya pikirkan ialah saya mengalami kecelakaan di situ, lalu mati. Apa kata kedua orangtua saya? Bagaimana pendapat teman-teman saya? Terserah mereka. Saya yakin Allah sangat tahu apa yang ada dalam otak saya.

Oke, terlalu banyak paragraf telah saya ceritakan tanpa memberitahu anda sebenarnya kawasan unik yang saya ceritakan ini daerah apa. Mungkin anda pun telah bisa menebaknya. Wilayah tersebut merupakan tempat yang terkenal sebagai lokasi prostitusi. Lokasi di mana seseorang bisa membeli kenikmatan sesaat, tanpa peduli akibat, yang tentunya sangat berat. Tempat alat-alat reproduksi yang diciptakan Allah untuk fungsi mulia bebas disewakan seolah-olah itu buatan tangan manusia.

Lampu-lampu menyala terang. Nadi tempat-tempat hiburan telah berdenyut. Hotel kelas melati telah siap menerima tamu-tamunya. Saya tidak masuk lebih dalam menuju pusat area. Saya pikir berbagai jenis jamur, parasit, virus, dan bakteri telah mengalir dan menempel di kawasan itu. Dari yang membuat gatal hingga yang meluluhlantakkan sistem kekebalan tubuh. Mulai yang membuat celana dalam amis seperti ikan asin sampai yang memprovokasi sel-sel hingga mengganas menjadi tumor. Kuman-kuman ini kemudian menyebar lagi entah ke mana. Mungkin singgah ke orang-orang yang tak pernah datang ke kawasan ini.

Ada dua hal unik yang saya temukan di lokasi itu. Pertama: boarding school, istilah modern untuk pesantren. Saya cukup takjub dengan kehadiran pesantren di kawasan prostitusi. Atau saya salah? Apakah harusnya saya lebih heran dengan kehadiran tempat-tempat prostitusi di sekitar pesantren? Saya tidak sedang meneliti mana yang lebih punya pengaruh, pesantren atau rumah bordil? Yang penting adzan bisa tetap terdengar di lokasi tersebut.

Benda kedua yang juga unik di wilayah itu yaitu kantor polisi. Polisi adalah salah satu penegak hukum. Pelanggar hukum akan ditangkap oleh polisi. Tetapi mengapa anomali terjadi di lokasi prostitusi itu? Mengapa orang-orang yang terlibat di bisnis ini tidak takut dengan keberadaan kantor polisi di dekat lokasi bisnis terlarang mereka? Saya tahu hukum di Indonesia melarang prostitusi -maaf saya tidak tahu pasalnya. Belum lagi jika kita melihat larangan prostitusi dari berbagai sudut pandang agama. Nah, kalau prostitusi saja dilarang, tidak mungkin ada lokalisasi.

Walau bagaimanapun juga kawasan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai area lokalisasi, karena memang tidak legal. Namun kalau pun bukan lokalisasi, mengapa tidak dibubarkan? Hal ini benar-benar aneh. Dapatkah saya sebut ini dengan lokalisasi setengah hati? Ah, sudahlah. Mungkin saat ini skripsi saya lebih penting untuk dipikirkan.