7.28.2010

Otakku Berpoligami

Selama masa puber, otakku sangat sering berinteraksi dengan benda bernama komputer. Hal ini membuat otakku jatuh cinta dan sempat berniat menikahi teknik informatika. Namun takdir berkata lain. Selepas SMU, otakku malah menikahi ilmu kedokteran. Otakku masih terlalu muda waktu itu. Gampang terpengaruh. Apalagi keluargaku hobi sekali menjodoh-jodohkan otakku dengan kedokteran. Tak masalah. Toh nanti selama kuliah, otakku tetap bisa berselingkuh dengan ilmu komputer.

Rupanya yang terjadi tidak seperti itu. Aku baru bisa memiliki seperangkat komputer di tahun kedua, itupun komputer berkualitas rendah yang ketinggalan zaman. Sepertinya cinta otakku ini pupus. Walaupun masih sedikit tertarik dengan opensource, tapi otakku sudah terlalu jauh tertinggal dari perkembangan cintanya itu. Lebih dari itu, otakku tidak begitu mencintai pasangan pertamanya. Tapi rasanya tak mungkin diceraikan. Pasangan pertama otakku ini kesayangan kedua orangtuaku. Hal ini membuat otakku sedikit labil. Game dan friendster pun menjadi pelampiasan hawa nafsunya hampir di setiap malam.

Sebenarnya otakku punya cinta yang lain, yaitu jurnalistik. Tapi cinta itu dipendam saja olehnya. Hanya sekali-sekali diperlihatkan di media intern kampus. Belum ada tanda-tanda akan menuju ke hubungan yang lebih serius. Sampai akhirnya di tahun ketiga perkuliahan, eksperimen otakku merangkai kata untuk media massa menuai hasil. Otakku pun menikahi jurnalistik sejak hari itu, hari ketika kisah poligami otakku dimulai.

Kisah poligami otakku berlanjut tak lama setelah itu. Kebahagiaan mendapatkan uang dari hasil usaha sendiri akhirnya mendorong otakku jadi jatuh hati pada kewirausahaan. Setelah direstui orang tua, otakku pun menikah lagi untuk ketiga kalinya. Dan otakku hidup bahagia dengan ketiga pasangannya. Tapi ceritanya belum berakhir sampai di sini.

Ternyata saudara tiri dari jurnalistik, yang bernama sastra, tak kalah menarik! Lebih menarik bahkan! Otakku jatuh cinta lagi, dan menikah lagi. Otakku kini berpoligami dengan empat pasangan. Kedokteran, jurnalistik, kewirausahaan, dan sastra. Pasangan kedua, ketiga, dan keempat inilah yang membuat hidup otakku tidak membosankan.

Walaupun berpoligami, tapi otakku tak menikah siri. Pasangan-pasangan otakku tidak dirahasiakan keberadaannya dari otak-otak yang lain. Pasangan-pasangan otakku ini juga bisa saling menopang satu sama lain. Ada satu masalah tapi, otakku tak cukup adil. Contohnya dulu, waktu malam menjelang ujian Ilmu Kesehatan Anak. Otakku tak mau mencumbui buku Panduan Diagnosis dan Terapi. Justru buku The Power of Kepepet yang dikencaninya. Atau seperti sekarang ini. Laporan IKM menunggu untuk disentuh, tapi otakku malah asyik masyuk dengan esai ini.

7.26.2010

Sales Promotion Girl yang Menarik

Anda pasti tahu atau pernah melihat Sales Promotion Girl kan? Apalagi kalau anda sering mengunjungi mal, pasti tidak merasa aneh lagi melihat makhluk tersebut. Biasanya terdiri dari beberapa orang wanita yang berdandan sangat wah (walaupun tidak semuanya dapat saya katakan cantik), berdiri di dekat suatu produk, di tangannya terdapat tumpukan brosur berisikan propaganda betapa hebatnya produk tersebut. Salah seorang wanita tersebut akan mendekati saya, kalau dia merasa saya ini cukup mampu dan tertarik untuk membeli produknya, lalu memberikan selembar brosur tersebut. Seringkali saya hanya mengucapkan frase terima kasih sambil mengambil selembar brosur yang diberikannya, tanpa tertarik dengan produk maupun Sales Promotion Girl-nya.

Tidak semua orang akan didekati oleh Sales Promotion Girl. Mereka tipe wanita pemilih. Itu tergantung pada bagaimana gaya anda saat berjalan di mal. Seingat saya, tidak ada Sales Promotion Girl dari dealer mobil yang pernah mendekati saya. Sebentar, jangan salah! Bukannya saya tidak menarik. Buktinya saya sangat sering didekati oleh Sales Promotion Girl dari berbagai restoran. Cukup hebat juga mereka bisa menebak kegemaran saya terhadap kuliner, padahal mereka belum pernah mengenal saya sama sekali. Okelah. Itu sekilas saja pandangan saya tentang Sales Promotion Girl. Sore itu, saya menemukan seorang Sales Promotion Girl yang sangat menarik! Dan saya bukan menemukannya di mal, tapi di RS Hasan Sadikin. Ya, memang sedikit aneh.

Hujan sedikit lebat saat mentari tergelincir ke barat. Saya baru saja selesai menempelkan jempol pada pemindai sidik jari, membuktikan bahwa saya mengakhiri jam kerja saya sore ini. Saya bersama Yogi bergerak menuju masjid Asy-Syifaa', tujuannya hendak membaca Republika hari ini dan Majalah Tarbawi edisi terbaru. Bangunan masjid yang terpisah dari gedung rumah sakit membuat saya harus melewati beberapa lapis tirai hujan. Di pintu Asy-Syifaa', seseorang menyapa saya dengan ramah dan ceria. Sales Promotion Girl itu. Saya takmemperhatikan dia. Mungkin karena dia tidak berdandan seperti Sales Promotion Girl di mal pada umumnya.

“Payung, A?” kira-kira seperti itu dia menawarkan payung. Padahal saya baru mau masuk ke dalam masjid.
“Nanti pulangnya ya...?” sapanya sok akrab. Tampaknya dia baru menyadari bahwa saya sudah sampai di masjid dan tidak membutuhkan payung.
“Seribu lima ratus,” dia menyebutkan tarif ojek payung. Saya terus masuk. Tidak membalas satupun tawarannya.

Anda jangan mengira Sales Promotion Girl ini wanita dewasa seperti yang anda temukan di mal-mal. Saya sedang bercerita tentang seorang gadis kecil. Gadis kecil ini rupanya semacam Sales Promotion Girl-nya anak-anak tukang ojek payung. Ini sangat menarik. Saya memperhatikan dari balik jendela sekretariat DKM Asy-Syifaa'. Dua orang anak lelaki masih menunggu dengan payung lebarnya. Sementara si gadis kecil itu, tanpa memegang payung sama sekali, menemani mereka. Mungkin terus menyapa ramah orang-orang yang keluar dari masjid sambil menawarkan jasa ojek payung tersebut. Saya melihat sebuah pembagian tugas yang kreatif. Dua orang anak laki-laki sebagai pekerja dan satu orang anak perempuan menjadi Sales Promotion Girl-nya. Ternyata kreatifitas anak-anak tak bisa dianggap remeh. Mereka bisa sekreatif itu untuk memperoleh uang. Lebih hebat dari saya yang masih saja meminta-minta.