3.05.2009

Pesta Kembang Api

Entah fakta ini benar atau tidak: saya pikir tempat perayaan imlek yang paling meriah di Indonesia adalah Kota Singkawang dan Pontianak. Di kota kelahiran saya ini, etnis China mencapai sekitar sepertiga dari total penduduknya. Tak heran jika imlek dirayakan sangat meriah oleh sebagian penduduk ibukota Kalimantan Barat ini. Apalagi di Kota Singkawang yang mayoritas penduduknya adalah etnis China. Jadi perkiraan saya di atas cukup beralasan, kan?

Malam itu saya menonton kembang api. Saya pergi berlima ke Jalan Gajahmada (daerah perdagangan di Pontianak, banyak etnis China tinggal di daerah ini) menggunakan dua sepeda motor. Om Budi bersama Tante Susi dan Bebe, lalu saya bersama Syahdi mengikuti di belakang mereka. Beberapa kali letusan kembang api telah saya lihat selama perjalanan menuju Jalan Gajahmada. Tikungan menuju Jalan Gajahmada ternyata sudah dipenuhi banyak kendaraan, padahal saya tidak masuk melalui tikungan utama. Saya mulai malas. Saya agak pusing, tampaknya akibat gas buangan knalpot yang terlalu banyak di sini. Jalan Gajahmada yang melintang di depan nyaris penuh oleh kendaraan. Saya melihat banyak helm di mana-mana. Pengguna mobil mungkin telah meninggalkan mobil mereka entah di mana.

Saya ingin memutar balik, tapi saya terpaksa mengikuti yang lain terus berusaha masuk ke Jalan Gajahmada. Makin lama makin sulit untuk memutar. Selama macet, sebenarnya saya masih bisa terus menikmati letusan-letusan kembang api yang masih dinyalakan oleh orang-orang. Sayangnya, saya harus tetap memperhatikan posisi sepeda motor. Akan lebih nyaman jika saya bertukar duduk di belakang, tapi yang Syahdi yang saya bonceng ialah seorang anak kelas 6 SD. Fuh! Saya pusing, kepanasan, dan agak takut membayangkan bagaimana jika sebuah letusan kembang api yang tidak memancar ke langit menghantam sebuah kendaraan dan memicu ledakan. Saya rasa pikiran saya terlalu berlebihan.

Akhirnya Jalan Gajahmada pun melonggar. Saya bisa meneruskan perjalanan, walaupun saya telah terpisah dari rombongan. Saya memutuskan untuk berbelok ke sebuah jalan kecil, berharap dapat mencari jalan keluar. Saya menemukan suatu pemandangan unik. Sebuah rumah memasang petasan yang direnceng sangat panjang. Digantung dari balkon lantai atas rumahnya hingga menjuntai ke bawah! Saya melihat petasan itu meledak-ledak sambil menelepon Om Budi. Bahkan sampai saya selesai menelepon dan memutar balik untuk mencari Om Budi pun petasan itu belum habis terbakar!

Setelah tiga kali menelepon barulah saya menemukan rombongan awal. Mereka sedang duduk di tempat penjual mie tiaw. Ini bukan berarti kami dapat menonton kembang api sambil menikmati mie tiaw, karena mie tiaw tersebut adalah mie tiaw babi! Syukurlah penjual mie tiaw tersebut jujur mengatakannya. Bahkan mereka tetap membiarkan kami duduk di tempat itu cukup lama untuk menikmati kembang api yang terus diletuskan. Saya salut dengan sikap pedagang seperti ini. Jujur dan bersikap baik pelanggan. Padahal yang dibeli hanyalah beberapa air putih kemasan gelas. Allah memberi saya rezeki sebuah burger yang dijual di dekat tempat itu.

Letusan kembang api semakin meriah. Kembang api yang dinyalakan pun letusannya tak lagi seperti yang biasa. Indah memukau mata. Banyak orang bertepuk tangan. Banyak juga yang merekam atau memotret keindahannya dengan handphone. Om Budi berkata bahwa letusan-letusan ini seperti di Palestina. Tidak. Letusan-letusan di Palestina pasti lebih dahsyat dan tragis. Hanya para syuhada yang bisa menikmati letusan yang memindahkan hidup mereka. Karena mereka tidak mati, tapi hidup di tempat lain yang tidak pernah kita kunjungi.

Om Budi juga berkomentar tentang total biaya yang dikeluarkan untuk semua letusan kembang api tersebut. Satu milyar? Atau lima ratus juta? Melihat letusan sebanyak dan semenarik itu saya rasa mungkin bisa mencapai lima ratus juta. Saya tidak tahu harus setuju atau tidak dengan pernyataan bahwa memainkan kembang api sama saja dengan membakar uang. Memang membakar sesuatu yang dibeli dengan uang, tapi untuk menambah kebahagiaan dan kepuasan. Namun memang harga yang harus dibayar untuk kepuasan sesaat itu cukup besar. Jadi mungkin saya akan mengatakan pernyataan yang sama kepada anak saya kelak jika ia meminta dibelikan kembang api yang mahal. Hahaha...!

Lama-lama letusan kembang api terasa biasa saja. Tampaknya pesta memang sudah usai. Kami pun mencari makanan lalu pulang. Rumah Gubernur Kalimantan Barat yang saya lewati sangat cantik dihiasi lampion-lampion merah. Sebenarnya saya ingin berfoto sejenak di sana. Sayang handphone saya tidak berkamera dan Syahdi tidak membawa handphone-nya. Dan tahukah anda, masakan padang adalah menu pamungkas dari Allah yang saya dapatkan malam itu. Alhamdulillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar